Ketika Kampus Kehilangan Nurani atas Nama Canda dan Citra Intelektual

Nama Timothy Anugrah Saputra, mahasiswa Sosiologi Universitas Udayana, kini menjadi simbol getir dari wajah kelam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Ia meninggal dunia setelah diduga melakukan aksi bunuh diri dengan melompat dari lantai dua gedung kampus FISIP Udayana, Rabu pagi (15/10). Namun yang lebih menyayat bukan hanya cara kepergiannya, melainkan apa yang terjadi sesudahnya. Di saat keluarga berduka dan masyarakat bertanya-tanya, sebagian warganet dan rekan sebaya justru menjadikan tragedi itu bahan olok-olok. Ada yang mengejek bentuk tubuhnya, menertawakan caranya mengakhiri hidup, bahkan menulis komentar kejam seperti “kenapa cuma loncat dari lantai dua, kenapa nggak sekalian dari lantai empat”. Begitu rendahnya empati di tengah lingkungan yang seharusnya menjadi tempat lahirnya kaum intelektual.

Kampus, yang selama ini dibanggakan sebagai ruang berpikir, seolah berubah menjadi panggung perundungan. Banyak yang menyebut mahasiswa sebagai agen perubahan, kritis, berwawasan luas, namun faktanya tidak sedikit yang justru menormalisasi kekerasan verbal, menjadikan ejekan sebagai hiburan, dan menjadikan perundungan sebagai dinamika sosial yang “biasa saja”. Ironinya, semua terjadi di tengah generasi yang katanya paling peka terhadap isu kesehatan mental dan paling fasih bicara soal empati. Ketika seorang mahasiswa kehilangan nyawa karena tekanan dan cemoohan, sebagian malah sibuk mencari sensasi dan menertawakan luka itu di media sosial.

Universitas Udayana memang sudah memberikan tanggapan resmi. Mereka menyatakan bahwa komentar-komentar kejam itu muncul setelah kejadian dan akan ditindaklanjuti lewat Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan. Namun persoalannya jauh lebih dalam dari sekadar siapa yang akan diberi sanksi. Masalahnya adalah budaya diam yang mengakar, rasa acuh yang menular, dan sikap pasif yang dianggap aman. Di kampus, terlalu banyak mahasiswa yang memilih menonton daripada bersuara, lebih nyaman menyebut “itu urusan mereka” ketimbang berdiri membela yang disakiti. Padahal diam bukanlah netral; diam adalah bagian dari masalah.

Kita perlu jujur menatap kaca. Apa gunanya kuliah bertahun-tahun, mempelajari teori sosial, filsafat, dan moralitas, jika di dunia nyata kita gagal menjadi manusia yang punya belas kasih? Apa arti gelar sarjana jika kita tak mampu menegur ketika kawan sendiri menertawakan penderitaan orang lain? Apakah kita masih pantas disebut kaum intelektual jika otak kita kritis tapi hati kita beku?

Tragedi Timothy seharusnya menjadi tamparan keras bagi semua mahasiswa di Indonesia. Bahwa perundungan tidak berhenti di sekolah dasar, menengah, atau dunia maya. Ia menular ke lingkungan kampus yang seharusnya jadi tempat berfikir, bukan berperang secara psikologis. Bahwa cemoohan sekecil apa pun bisa menjadi beban yang menumpuk di kepala seseorang yang sedang berjuang diam-diam melawan rasa sakitnya sendiri.

Kita tidak butuh lebih banyak pernyataan belasungkawa. Kita butuh perubahan sikap. Kita butuh mahasiswa yang berani melawan arus kebisuan. Kita butuh lingkungan akademik yang benar-benar menanamkan nilai kemanusiaan, bukan hanya menghafal teori moral di ruang kuliah. Dan yang terpenting, kita butuh keberanian untuk berkata: “cukup sudah”. Cukup dengan budaya menertawakan luka orang lain, cukup dengan dalih “itu cuma bercanda”, cukup dengan kepura-puraan bahwa intelektualitas otomatis membuat seseorang bermoral.

Timothy mungkin telah pergi, tapi seharusnya kematiannya tidak berlalu begitu saja. Tragedi ini harus menjadi momentum refleksi: apakah kita masih manusia, atau hanya sedang berpura-pura menjadi manusia berpendidikan? Jika mahasiswa, dosen, dan kampus tidak belajar dari peristiwa ini, maka dunia pendidikan tinggi di negeri ini tidak sedang mencerdaskan bangsa, melainkan perlahan membunuh rasa kemanusiaan itu sendiri.

Penulis : Kirani Nurul Afifah – Divisi Menulis Kreatif

Foto : Divisi Fotografi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *