Beberapa hari terakhir, linimasa media sosial diramaikan oleh potongan tayangan program XPOSE di Trans7 yang menyinggung kehidupan santri di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Dalam tayangan tersebut, muncul narasi mengenai santri yang harus “jongkok” saat minum di depan kiai. Cuplikan itu memicu perdebatan antara pihak yang menganggapnya bagian dari adab pesantren dan mereka yang menilai praktik tersebut sudah melampaui batas kewajaran.
Kritik terhadap Trans7 datang dari sejumlah pihak, terutama kalangan alumni pesantren dan masyarakat religius. Tayangan itu dinilai melecehkan dunia pesantren dan mencoreng nama baik kiai. Desakan agar Trans7 meminta maaf pun menguat di berbagai platform media sosial. Tak lama, pihak Trans7 akhirnya menyampaikan permintaan maaf terbuka dan mengakui adanya kekeliruan dalam proses penyajian berita.
Meski demikian, permintaan maaf tersebut justru menimbulkan perdebatan baru. Sebagian masyarakat menilai Trans7 tidak sepenuhnya bersalah, karena program tersebut dianggap menampilkan fakta yang memang terjadi di lapangan. Tayangan itu dinilai bukan sebagai bentuk pelecehan, melainkan upaya membuka ruang diskusi publik mengenai tradisi yang telah berlangsung lama.

Isu ini menyentuh ranah sensitif antara penghormatan dan kemanusiaan. Tradisi pesantren dikenal menjunjung tinggi adab terhadap kiai, namun ketika penghormatan tersebut berubah menjadi praktik yang mengekang kebebasan dan martabat seseorang, diperlukan keberanian untuk meninjau kembali batas-batasnya. Mengkritik tradisi bukan berarti menghina, tetapi mengajak untuk merefleksikan nilai-nilai yang masih layak dipertahankan dan mana yang perlu diperbaiki.
Dalam pandangannya, Guru Gembul menyebut bahwa tradisi pesantren merupakan kearifan lokal yang patut dihormati. Namun, jika kearifan itu menjelma menjadi praktik yang menghamba, maka nilai luhur di dalamnya justru hilang. Sementara itu, Habib Jafar mengingatkan bahwa penghormatan tidak seharusnya melahirkan rasa takut. Menurutnya, santri datang untuk menuntut ilmu, bukan untuk tunduk secara membabi buta.
Pandangan tersebut menegaskan bahwa inti persoalan bukan terletak pada pesantrennya atau medianya, tetapi pada cara masyarakat menempatkan etika dan kemanusiaan dalam kehidupan sosial. Pers, termasuk media arus utama seperti Trans7, memiliki peran penting sebagai pengawas sosial. Tugasnya menyampaikan fakta, bukan sekadar hal yang menyenangkan publik. Namun, media juga perlu berhati-hati dalam menyajikan isu keagamaan dan budaya agar konteksnya tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya literasi digital di tengah arus informasi yang cepat. Masyarakat diharapkan lebih kritis dalam memahami dan menanggapi pemberitaan. Reaksi emosional tanpa memahami konteks hanya akan memperkeruh suasana, sementara diam terhadap praktik yang keliru juga bukan solusi.
Polemik antara Trans7 dan Pondok Pesantren Lirboyo pada akhirnya bukan sekadar soal benar atau salah, melainkan soal bagaimana publik bersikap terhadap kritik dan tradisi. Tradisi yang kokoh tidak akan runtuh hanya karena dikritik, sedangkan media yang berani menyoroti kenyataan seharusnya tidak dihukum karena keberaniannya.
Hormat tidak boleh berubah menjadi penindasan, kritik tidak selalu berarti penghinaan, dan permintaan maaf tidak semestinya hanya datang dari pihak yang berani menyampaikan fakta. Di atas segalanya, menjaga nilai kemanusiaan tetap lebih penting daripada sekadar menjaga citra.
Penulis : Kirani Nurul Afifah – Divisi Menulis Kreatif
Foto : Divisi Fotografi
