KOMPAS TV – Setiap kebijakan publik, seberapa pun tujuannya, selalu memiliki dua sisi mata uang: harapan dan keresahan. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dinamika ini terekam jelas dalam gelombang protes yang melanda wilayah tersebut. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang mencapai 250% menjadi pemicu utama, memantik api protes yang berujung pada tuntutan mundur terhadap Bupati Sudewo. Fenomena ini bukan sekadar persoalan angka, tetapi cerminan kompleksitas hubungan antara masyarakat dan pemerintah, di mana komunikasi, kepercayaan, dan keadilan menjadi unsur krusial.
Masyarakat: Keresahan dan Kedaulatan yang Terasa Terancam
Dari sudut pandang warga Pati, kenaikan pajak yang drastis ini terasa seperti pukulan telak. Bagi banyak kepala keluarga, PBB bukan sekadar kewajiban, melainkan beban yang harus dipikul di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu. Kenaikan hingga 250% dianggap tidak proporsional dan tidak mempertimbangkan daya beli masyarakat. Mereka merasa kebijakan ini diambil secara sepihak, tanpa sosialisasi yang memadai dan tanpa mendengarkan aspirasi dari akar rumput.
Keresahan ini tidak hanya tentang nominal uang, melainkan juga tentang rasa keadilan. Warga mempertanyakan dasar kenaikan tersebut. Apakah kenaikan ini didasari pada peningkatan pelayanan publik yang signifikan? Apakah hasilnya akan benar-benar kembali untuk kesejahteraan masyarakat? Minimnya penjelasan yang transparan menimbulkan kecurigaan dan hilangnya kepercayaan. Aksi protes yang awalnya berfokus pada penolakan pajak, perlahan bertransformasi menjadi tuntutan yang lebih besar: permintaan untuk Bupati mundur. Ini menunjukkan bahwa isu pajak hanyalah puncak dari gunung es. Di bawah permukaan, ada rasa frustrasi yang mendalam terhadap gaya kepemimpinan yang dianggap arogan dan tidak berempati.
Meskipun Bupati akhirnya membatalkan kebijakan tersebut dan berjanji mengembalikan selisih pembayaran, gelombang protes tetap berlanjut. Hal ini mengindikasikan bahwa masalah sudah merambah ke dimensi yang lebih fundamental, yaitu krisis kepercayaan. Bagi warga, pembatalan kebijakan bukanlah akhir dari masalah, melainkan pengakuan tidak langsung atas kesalahan. Namun, mereka merasa tindakan tersebut tidak cukup untuk mengembalikan kehormatan dan kedaulatan yang sempat mereka rasakan terinjak.
Pemerintah: Dilema Pembangunan dan Tantangan Komunikasi
Di sisi lain, pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati Pati, menghadapi dilema yang tak kalah rumit. Setiap pemerintah memiliki mandat untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) guna membiayai pembangunan dan pelayanan publik. Kenaikan PBB, dalam kacamata birokrasi, bisa jadi dipandang sebagai langkah logis untuk mengoptimalkan potensi daerah. Tujuannya mungkin mulia: membangun infrastruktur yang lebih baik, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, atau mempercantik wajah kota.
Namun, yang seringkali terlupakan adalah tantangan komunikasi. Kebijakan sebesar ini membutuhkan sosialisasi yang masif, terstruktur, dan transparan. Pendekatan yang seharusnya dilakukan adalah dengan menjelaskan secara rinci mengapa kenaikan itu diperlukan, apa manfaatnya bagi masyarakat, dan bagaimana mekanisme pelaksanaannya. Alih-alih demikian, respons awal yang terkesan menantang dan kurangnya dialog terbuka justru memperkeruh suasana. Pernyataan yang dianggap arogan oleh masyarakat menjadi bensin yang menyulut kemarahan.
Pembatalan kebijakan dan permohonan maaf Bupati menunjukkan adanya pengakuan atas kesalahan. Dari sudut pandang pemerintah, ini adalah langkah mundur yang diperlukan untuk meredam konflik dan mencari jalan keluar. Namun, pada titik ini, masalah sudah tidak lagi seputar PBB. Isu kepemimpinan dan kepercayaan publik telah menjadi sentral. Pembentukan Pansus Pemakzulan oleh DPRD Pati adalah bukti bahwa dinamika politik lokal juga merespons tekanan dari publik. Pemerintah daerah kini dihadapkan pada tugas berat untuk memulihkan citra dan membangun kembali jembatan komunikasi yang runtuh dengan warganya.
Pembelajaran untuk Demokrasi Lokal
Peristiwa di Pati memberikan pelajaran berharga bagi semua pihak. Bagi pemerintah, pembangunan tidak bisa hanya diukur dari sisi ekonomi semata. Partisipasi publik dan dialog yang tulus adalah fondasi utama keberhasilan sebuah kebijakan. Sebuah kebijakan yang secara teknis dianggap baik bisa menjadi bumerang jika tidak didukung oleh legitimasi sosial. Bagi masyarakat, aksi protes adalah hak konstitusional untuk menyuarakan pendapat, namun harus tetap berada dalam koridor demokrasi yang damai.
Pada akhirnya, apa yang terjadi di Pati adalah gambaran mikro dari tantangan demokrasi di tingkat lokal. Demokrasi bukan hanya tentang pemilihan umum, tetapi juga tentang bagaimana warga dan pemerintah berinteraksi, berdialog, dan mencari solusi bersama. Kenaikan pajak mungkin hanyalah pemicu, tetapi yang sesungguhnya teruji adalah kekuatan komunikasi, empati, dan kepercayaan dalam sebuah tatanan sosial. Tantangannya kini adalah apakah pemerintah dapat belajar dari insiden ini dan kembali meraih hati rakyatnya, ataukah krisis kepercayaan akan terus berlanjut, mengikis fondasi pembangunan yang telah susah payah dibangun.
Penulis : Vitiara Anggita Melati – Divisi Menulis Kreatif
Foto : Divisi Fotografi
