Madiun Membara: Mahasiswa Turun, DPR Didobrak, Demokrasi Digugat

Madiun, 30 Agustus 2025 – Gelombang demonstrasi serentak yang digelar mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia turut menggema di Kota Madiun. Ribuan massa dari berbagai elemen mahasiswa, buruh, dan aktivis memenuhi Jalan Serayu, tepat di depan Gedung DPRD Kota Madiun pada Sabtu (30/8). Aksi yang berlangsung sejak siang hingga sore itu membawa sejumlah tuntutan strategis, mulai dari reformasi DPR hingga perombakan institusi kepolisian.

Persiapan dan Mobilisasi Massa

Sejak pukul 13.00 WIB, massa aksi sudah mulai berkumpul di titik kumpul awal di Jalan Anyar. Dari titik tersebut, mereka melakukan long march dengan membawa spanduk, poster, dan atribut aksi menuju Gedung DPRD Kota Madiun. Sepanjang perjalanan, massa meneriakkan yel-yel yang menggugah solidaritas, salah satunya “Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!”.

Aksi ini digerakkan oleh konsolidasi mahasiswa lintas kampus, termasuk organisasi eksternal, yang menyatukan kekuatan dengan serikat buruh dan aktivis lokal. Skala aksi yang mencapai kurang lebih 1.000 orang ini membuat aparat kepolisian dan TNI bersiaga penuh di lokasi. Tak hanya aparat keamanan, Ketua DPRD Kota Madiun juga hadir untuk menemui langsung para demonstran.

Haidar Fillah, Ketua BEM UNIPMA, menegaskan bahwa konsolidasi internal mahasiswa sangat penting dalam situasi yang disebutnya sebagai “darurat represifitas.”

“Kami dari kesatuan BEM dan ormawa di kampus telah menyepakati bahwa kondisi belakangan ini sangat memprihatinkan, mulai dari isu tunjangan gaji DPR, pajak, hingga puncaknya tragedi ojol di Jakarta yang diperlakukan brutal oleh aparat. Hal ini membuat seruan aksi, baik daerah maupun nasional, menjadi masif. Maka dari itu, sore ini kami akan menggelar konsolidasi di UNIPMA untuk menyamakan persepsi,” jelas Haidar.

Latar Belakang Aksi

Pemicu langsung dari demonstrasi kali ini adalah kebijakan pemerintah terkait kenaikan gaji anggota DPR sebesar Rp3 juta per hari. Kebijakan ini dianggap mencederai rasa keadilan sosial di tengah kesenjangan ekonomi rakyat yang semakin terasa. Selain itu, kasus meninggalnya seorang pengemudi ojek online baru-baru ini menjadi pemantik kemarahan publik, karena dianggap sebagai potret nyata ketidakberpihakan kebijakan pemerintah terhadap rakyat kecil.

Namun, lebih dari sekadar isu sesaat, mahasiswa menegaskan bahwa akar persoalan terletak pada sistem demokrasi yang kian jauh dari cita-cita reformasi. Aliansi Mahasiswa UNIPMA Bergerak dalam pernyataan sikapnya menegaskan bahwa aksi ini adalah upaya mempertahankan hak asasi manusia, menolak segala bentuk represif aparat, serta menuntut agar DPR dan Polri menjalankan fungsi sebagaimana mestinya dengan lebih transparan, adil, dan humanis.

Menurut Haidar, konsolidasi mahasiswa tidak boleh berhenti sebagai forum diskusi semata.

“Tentu ini akan kita wujudkan dalam langkah nyata. Biasanya konsolidasi menghasilkan beberapa forum rumusan tuntutan yang kemudian dibawa ke jalan,” tegasnya.

Dinamika Aksi

Sekitar pukul 14.15 WIB, suasana memuncak saat orasi dimulai di depan Gedung DPRD. Perwakilan mahasiswa, buruh, dan aktivis secara bergantian menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah dan parlemen. Selain orasi, aksi teatrikal juga ditampilkan untuk menggambarkan penderitaan rakyat kecil yang terpinggirkan oleh kebijakan yang tidak adil.

Aksi ini sempat berlangsung kondusif. Ketua DPRD Kota Madiun turun langsung menemui massa dan menerima berkas tuntutan. Berkas tersebut berisi sejumlah poin utama, di antaranya:

  1. Mendesak penghentian segala bentuk tindakan represif aparat.
  2. Menuntut pembatalan kenaikan gaji DPR dan audit independen terhadap fasilitas DPR.
  3. Menolak upaya militerisasi kampus.
  4. Mendesak reformasi Polri agar profesional, transparan, dan humanis.
  5. Menyuarakan penegakan keadilan sosial dan perlindungan hak asasi manusia.

Di balik dinamika itu, Haidar menyoroti pentingnya menjaga ruang kebebasan akademik.

“Ini PR kita semua. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dilindungi undang-undang. Tidak ada aturan lain yang bisa mengalahkan itu. Jadi mahasiswa sebagai pemilik ideologi idealisme harus tetap berani menyuarakan kebenaran,” ucapnya.

Insiden dan Korban

Namun ketenangan tidak berlangsung lama. Setelah berkas tuntutan ditandatangani sebagai bentuk penerimaan, sebagian massa mulai bertindak lebih keras. Sekitar pukul 17.00 WIB, lemparan batu, botol plastik, hingga molotov mulai diarahkan ke halaman gedung DPRD. Aksi pembakaran ban pun terjadi, membuat suasana semakin memanas. Untuk mengendalikan situasi, aparat kepolisian melepaskan tembakan gas air mata. Hal ini menyebabkan kepanikan di kalangan massa. Setidaknya lima orang demonstran dilaporkan harus dilarikan ke rumah sakit akibat sesak napas dan iritasi mata. Meski demikian, tidak terjadi bentrokan fisik langsung antara aparat dengan pengunjuk rasa.

Pantauan di lapangan menunjukkan kondisi Jalan Serayu pasca aksi dipenuhi sampah, botol plastik, serta sisa ban terbakar. Meski jalur dari titik kumpul hingga DPRD tidak ditutup total, arus lalu lintas tersendat selama aksi berlangsung. Aksi resmi dibubarkan sekitar pukul 18.00 WIB setelah berlangsung kurang lebih lima jam.

Menurut Haidar, solidaritas yang dibangun tidak berhenti di kampus saja.

“Solidaritas ini tidak akan berhenti di UNIPMA. Kami juga akan menggandeng kampus lain di Madiun, elemen buruh, hingga komunitas ojek online. Komunikasi sudah berjalan, dan ke depan akan ada seruan aksi lebih besar dari koalisi masyarakat sipil,” ungkapnya.

Pesan untuk Pemerintah

Aksi demonstrasi serentak di Kota Madiun ini menjadi catatan penting perjalanan gerakan mahasiswa tahun ini. Di satu sisi, aksi ini menunjukkan kekuatan solidaritas lintas elemen dalam menyuarakan keresahan rakyat. Namun di sisi lain, insiden pelemparan dan penggunaan gas air mata memperlihatkan betapa rentannya dinamika aksi massa berujung pada ketegangan.

Dalam pesannya kepada pemerintah dan aparat, Haidar Fillah menegaskan sikap mahasiswa sebagai kekuatan moral bangsa.

“Pesan kami jelas: hentikan segala ketidakadilan yang ada. Kutuk segala bentuk represifitas aparat, bebaskan demokrasi, dan izinkan mahasiswa berpartisipasi membangun bangsa serta negara,” pungkasnya.

Kini, publik menunggu tindak lanjut dari pemerintah, khususnya terkait tuntutan yang sudah diterima DPRD Kota Madiun. Pertanyaan yang menggantung adalah: apakah suara mahasiswa kali ini akan benar-benar didengar, atau justru kembali menjadi gema yang hilang di tengah hiruk pikuk politik nasional.

Reporter: Figo Dwi Alvianto

Editor: Kirani Nurul Afifah

Foto: Adewidya Rafi, Isma Aulia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *