Oleh : Nova Niswa
Suara
nyaring Ibu memanggil dari seluruh penjuru rumah membuyarkan ketenangan pagi.
Ibu:
"Dioooo! Dioooo!" (teriakan berulang-ulang)
Dio:
"Iya Bu..." (dalam kamar, setengah terbangun)
Ibu
muncul dengan nampan sarapan di tangan.
“Sudah
pakai garam belum ya masakannya tadi? Setelah ini harus siram tanaman depan,
terus bersihkan kamar dan ruang tamu... Oh, apa lagi ya? Aduh, pikiran Ibu
kemana-mana,” gumamnya sendiri sambil berjalan.
Dio
keluar kamar, memeluk ibunya dari samping.
Dio:
“Ibu, jangan terlalu banyak pikiran. Aku di sini untuk bantu. Jangan sering
lupa ya, Bu.”
Ibu:
“Nak, Ibu cuma ingin semuanya beres. Tapi memang, makin tua ini pikiran suka
kemana-mana.” (tersenyum lelah)
Dio:
“Tenang, Bu. Dio mandi dulu, nanti kita sarapan bareng.”
Setelah
mandi, mereka duduk di meja makan bersama.
Ibu:
“Setelah ini mau ke mana, Dio?”
Dio:
“Mau latihan badminton, Bu. Badanku kaku kalau nggak digerakkan.”
Ibu:
“Hati-hati ya, Nak. Jaga diri baik-baik.”
Dio:
“Siap, Ibuku tersayang.” (dengan senyum tulus)
_________
Dio
tiba di lapangan. Ia duduk sebentar untuk pemanasan. Matanya sempat bersitatap
dengan seorang teman, Bara, tetapi hanya sesaat. Ia lalu masuk ke lapangan dan
mulai latihan seperti biasa.
Di
sekolah, Dio dikenal pendiam namun rajin. Suasana kelas yang berisik tak
mengganggunya tidur sebentar di bangku belakang. Teman-temannya berceloteh,
tertawa, bahkan melempar candaan dan umpatan lucu, tetapi Dio tetap tenang.
Bagi
Dio, hidupnya hanya tentang sekolah dan latihan. Tetapi, tak banyak yang tahu
bahwa Dio bukan remaja biasa. Ia memiliki kemampuan membaca pikiran orang-orang
di sekitarnya. Kemampuan ini memberinya keunggulan di lapangan, ia bisa
mengantisipasi gerakan lawan sebelum terjadi.
Namun,
kemampuan ini juga membuatnya sering menangkap suara-suara batin yang tak
selalu menyenangkan, termasuk dari Bara.
____________
Sore
hari, di lapangan sekolah, Bara tiba-tiba mendekatinya.
“Di
lapangan badminton pusat kota. Sabtu, jam 3 sore. Kita tanding,” ucapnya tanpa
basa-basi.
Dio: “Oke.” (tersenyum tipis)
Dio
menerima tantangan itu karena percaya diri akan menang. Ia penasaran, apa benar
Bara membencinya seperti yang sering ia dengar dari bisik batin Bara di tengah
keramaian?
Sabtu
pun tiba. Pertandingan berlangsung sengit. Sorakan penonton menggema. Namun,
Dio tetap tenang, sigap mengontrol permainan. Ia tahu arah bola, bahkan tahu
strategi lawannya.
Pikiran
Bara terus terdengar jelas di kepalanya: “Kenapa Dio selalu lebih hebat?
Bahkan tanpa usaha keras pun dia bisa menang. Aku benci dia... tapi aku juga
benci diriku sendiri yang terus kalah.”
Dio
akhirnya menang telak. Tetapi, bukan itu yang membekas. Bukan kemenangan yang
menggetarkan hatinya, melainkan luka batin Bara yang terdengar begitu nyata.
Setelah
pertandingan, Dio menghampiri Bara sambil menyeka keringat di dahinya.
Dio:
“Gue tahu perasaan lo. Gue juga pernah merasa seperti itu.”
Bara
terkejut.
Dio:
“Gue nggak mau kita jadi musuh. Gimana kalau kita latihan bareng? Jadi tim,
bukan lawan.”
Bara
sempat terdiam, tapi akhirnya mengangguk.
Bara:
“Boleh juga. Kasih tahu aja kapan.”
Sejak
hari itu, keduanya rutin latihan bersama. Di antara pukulan raket dan langkah
kaki, tumbuh saling pengertian yang dulu tak ada.
Suatu
sore saat selesai latihan.
Dio:
“Bro, gue lihat lo kayak lagi berat banget belakangan ini. Kenapa?”
Bara:
“Gue ribet di rumah. Orang tua keras banget. Gue jadi tertekan. Dan jujur, dulu
gue benci lo karena ngerasa lo selalu unggul. Lo bikin gue merasa kecil.” (Menghela
napas)
Dio:
“Bro, gue juga nggak sempurna. Nggak usah bandingin diri lo sama orang lain.
Kita kan bisa belajar bareng. Sama-sama maju.” (sambil menepuk bahunya)
Bara
tersenyum kecil tetapi tulus.
Bara:
“Iya sih. Sekarang gue mulai nyadar. Gue nggak mau terus jadi musuh lo.”
Dio:
“Mulai sekarang kita squad, latihan bareng, support bareng." sambil
mengulurkan tangannya
Bara
menjabat tangan itu.
Bara:
“Deal, Dio Thanks banget.”
Kecemburuan
hanya akan menjadi racun jika dipendam. Tetapi, jika diungkapkan dan diolah
menjadi semangat, ia bisa menjadi jembatan menuju persahabatan. Tidak ada yang
benar-benar kuat sendirian. Dengan saling mendukung, kita dapat tumbuh bersama.
Penulis
: Nova Niswa – Divisi Menulis Kreatif
Thumbnail : Diah Nuril - Divisi Desain
