Tak Ada Rumah di Rumahku

Aku, Gisel, duduk di sudut kamar dengan tatapan kosong menembus jendela. Cahaya senja merayap pelan di antara celah tirai, seperti kenangan yang enggan pergi. Rumah ini yang dulu penuh kehangatan, kini hanya menjadi saksi bisu pertikaian yang tak kunjung usai.

Sejak Ayah menikah lagi, semuanya berubah drastis. Aku masih ingat betul. Aku masih ingat betul hari itu, ketika Ibuku baru saja berpulang, bahkan belum genap 40 hari, Ayah sudah membawa wanita lain ke rumah ini, wanita tersebut bernama Liana bersama putrinya yang bernama Sheren. Orang asing yang tiba-tiba disebut sebagai adikku. Saat itu aku masih berusia 10 tahun dan dunia yang kukenal runtuh begitu saja.

“Ayah, siapa mereka?” tanyaku polos saat itu.

“Ini Tante Liana, istriku yang baru. Dan Sheren, adik yang akan kau jaga.” Suara Ayah terdengar dingin, tak memberikan ruang untuk aku protes.

Aku tak bisa menerima. Bagaimana mungkin Ibuku baru saja dimakamkan, tetapi penggantinya sudah berdiri di depan pintu? Sejak itu, rumah ini kehilangan kehangatannya.

Tahun demi tahun berlalu dan aku semakin terasingkan di rumahku sendiri. Sheren bukan hanya menjadi anak emas, tetapi juga perwujudan dari segala hal yang menjengkelkan. Segala hal yang kumiliki seakan-akan  berpindah padanya mulai dari perhatian Ayah, teman-temanku, hingga ruang privasiku semua beralih kepemilikan menjadi miliknya.

Pagi ini, di ruang makan yang semakin terasa asing bagiku, suara Sheren kembali menyulut amarah.

“Ayah, aku mau mobil. Teman-temanku semua sudah punya, masa aku belum?” rengeknya dengan suara dibuat-buat.

Ayah yang sedang menikmati sarapan hanya tersenyum kecil. “Nanti, Sheren. Kau bisa nebeng dengan Gisel, kan?”

Aku mendengus. “Aku bukan sopirmu, Sheren. Lagipula, mobil ini hadiah dari Ibu. Aku berhak menentukan siapa yang boleh naik.”

Sheren langsung memasang wajah memelas, seolah akulah yang bersalah. Dan seperti biasa, Tante Liana tak tinggal diam. “Gisel, kau kakaknya. Seharusnya kau lebih mengerti!” suaranya melengking, menyebalkan.

Aku menatapnya tajam. “Tante hanya menumpang di rumah ini. Jangan mencoba mengaturku.”

Wajahnya seketika memerah, tapi ia menahan diri. Aku tahu, dia tidak berani melampaui batas. Aku sudah mengetahui rahasianya, bahwa rumah ini dan usaha yang dikelola Ayah bukan sepenuhnya miliknya. Semuanya adalah warisan Ibuku dan aku pemilik sahnya.

Aku bangkit, meninggalkan meja makan. Aku muak. Muak dengan kepalsuan, dengan kebohongan, dengan rumah yang tak lagi terasa seperti rumah.

Setibanya di kampus, aku melihat Denzo sudah menunggu. Senyumnya hangat, tatapan matanya tajam, satu-satunya tempat aku merasa dihargai.

“Bagaimana hari ini?” tanyanya lembut.

Aku menghela napas, lalu menceritakan pertikaian pagi tadi. Denzo mendengarkan tanpa menyela, sesuatu yang jarang kudapatkan dari keluargaku.

Setelah aku selesai, dia menatapku serius. “Pernahkah kau berpikir untuk pergi dari rumah itu, Gisel? Memulai hidup baru?”

Aku terdiam. Meninggalkan rumah ini? Sesuatu yang selama ini tak pernah berani kupikirkan, kini terlintas di benakku.

“Aku ingin ke Jakarta, melanjutkan usaha Ibuku yang selama ini dikelola Paman tanpa sepengetahuan Ayah. Mungkin ini waktunya.”

Denzo mengangguk. “Aku akan menyusulmu ke sana. Aku tak akan membiarkanmu sendirian lagi.”

Aku tersenyum, untuk pertama kalinya merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar mendukungku.

Tiga bulan kemudian, aku berdiri di depan rumah, bersiap-siap untuk pergi. Denzo menungguku di mobil. Tante Liana dan Sheren tampak terkejut, sedangkan Ayah menatapku dengan ekspresi tak terbaca.

“Ayah, maaf jika aku belum bisa menjadi anak yang berbakti. Tapi aku harus pergi.” Aku menelan ludah, lalu melanjutkan, “Dan kenalkan, ini Denzo, calon suamiku.”

Ayah terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. “Ke mana kau akan pergi, Nak?”

Aku tersenyum tipis. “Ke Malang, ke rumah Nenek.”

Sebuah kebohongan besar. Nyatanya, aku akan ke Jakarta. Aku telah menjual rumah ini dan mengambil alih usaha Ibuku. Biarlah mereka merasakan bagaimana rasanya kehilangan.

Saat aku melangkah keluar, suara berita di televisi menarik perhatianku. Seorang reporter melaporkan revisi Undang-Undang TNI yang sedang menuai kontroversi.

“Pemerintah mengusulkan agar TNI bisa menduduki jabatan sipil, memunculkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI…”

Aku tersenyum sinis. Negeri ini tak jauh berbeda dengan rumahku. Kekuasaan dipegang oleh mereka yang merasa berhak, tanpa peduli siapa yang tersakiti. Orang-orang terpaksa diam, sementara mereka yang licik terus menancapkan kuku mereka lebih dalam.

Tapi aku sudah belajar satu hal, jika ingin keluar dari ketidakadilan, kita harus mengambil kendali sendiri.

Aku melangkah menuju mobil, meninggalkan rumah itu untuk selamanya. Aku bukan lagi Gisel yang diam dan menerima. Aku adalah Gisel yang akan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.

Dan kali ini, aku tak akan kalah.

 

Penulis                    :   1. Kirani Nurul A. – Divisi Reporter 

                                     2. Septia Anis S. – Divisi Menulis Kreatif

Desain Thumbnail  :  Mayang Kusuma – Divisi Desain

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *