Selongsong Peluru

Desain: Diah Nuril Rahmawati

Selongsong Peluru

Karya: Fellysa Rahma Naturafika

Siang ini cahaya mentari begitu terik. Dengungan kendaraan mendominasi hiruk-pikuk kota. Khinanti berjalan terseok-seok menyusuri gang kecil dengan nampan plastik berisi beberapa sisa gorengan hasil jualannya di sekolah tadi, serta tas berisi tiga buku paket yang cukup berat.

“Huh! Jika bukan karena Emak yang menyuruhku, pasti aku tidak akan mau membawa barang seberat ini, ” ocehnya sambil memandangi sisa gorengan dengan sendu.

Di sinilah Khinanti, berdiri di depan pintu memandangi Emak yang tengah menggoreng gorengan di atas tungku dengan peluh yang bercucuran karena panas api yang langsung menerpa wajahnya. Di sudut sana, sosok rapuh tengah terbujur lemah, kakinya tak lagi kuat untuk berpijak. Meski begitu, senyum tak pernah luntur dari wajah keriputnya kala melihat cucunya yang sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah cemberut.

>><< 

“Isinya? Isinya ya semacam bahan peledak seperti bubuk mesiu. Apalagi ya?” Bola mata Kakek menghadap ke atas menandakan ia sedang berpikir. Tawa keras pecah kala dirinya melihat ekspresi cucunya begitu serius mendengarkan penjelasannya, menampakkan giginya yang telah tanggal semua.

“Tapi kenapa Kakek menyimpan benda ini? Sudah jelek, karatan pula. Kenapa tidak dibuang saja?” tanya Khinanti menunjuk selongsong peluru yang tengah Kakek pegang.

“Nduk, nduk, kamu itu masih kecil, masih ingusan. Nggak bakal paham kalau Kakek cerita tentang sejarah selongsong ini,” ucapan Kakek yang mengundang tatapan merajuk dari Khinanti.

“Assalamu’alaikum, Nduk! Khinanti sudah makan? Ini ada sisa gorengan, cepat makan nanti cacingan.” Suara Emak menggema di seluruh penjuru rumah reot itu, lebih mementingkan perut Khinanti daripada tubuhnya sendiri yang tenaganya sudah terkuras habis karena berkeliling desa dari siang hingga menjelang Magrib.

“Nanti, Mak!” Dengan cepat Khinanti memasukan selongsong berkarat itu ke dalam kantung usang milik sang Kakek kemudian menyimpannya ke dalam lemari yang sudah lapuk, karena takut mendapat omelan Emak sebab bermain dengan benda berbahaya.

Meski sudah kadaluwarsa Emak sangat paham bahan amunisi itu masih bisa meledak. Berkali-kali Emak memarahi Kakek dan berusaha mengamankan benda itu, tetapi semua usaha Emak gagal. Kakek selalu menangis kala mendapati benda itu hilang, sebab ribuan kenangan kelam tersimpan rapi di dalamnya.

Selongsong peluru yang Kakek curi dari kantung kain milik prajurit ketika masa Orde Baru, kala prajurit itu tengah membidik kawannya yang sedang memberontak menjadikan prajurit itu lengah terhadap satu selongsong peluru yang masih tersisa.

“Kami perwakilan rakyat!”

“Kami menyuarakan suara rakyat!”

“Di mana keadilan!”

“Krisis dimana-mana!”

“Dor!!”

Satu tembakan melesat, membuat suara riuh itu menjadi hening seketika. Seakan terbungkam oleh peristiwa bersimbah darah di depan mata. Dengan gemetar, Kakek segera bersembunyi di balik gerobak sampah, menenangkan jantungnya yang berdegup dua kali lipat kala melihat kepala kawannya pecah terkena tembakan, sembari memegang erat kantung peluru dengan rahang mengeras.

“Makan, Nduk,” ucap Kakek dihadiahi gelengan malas dari Khinanti.

“Khinanti lebih senang mendengar cerita Kakek daripada harus makan tempe dingin sisa jualan Emak.” Kakek tersenyum sendu.

“Makan, Nduk, Dulu mau makan saja tidak tenang. Sekarang kamu enak, masih ada lauk tempe sama sambel di meja. Sekalian ambil buat Kakek.”

>><< 

Rintik hujan di luar menyadarkan Khinanti dari lamunannya. Sesaat setelahnya, ia menyadari tengah menggenggam kantung selongsong dengan air mata yang menggenang. Aroma obat di ruangannya mengingatkannya pada raga rapuh yang harus menahan rasa sakit kala obat pereda nyeri miliknya telah habis dengan ringisan gigi tanggalnya.

Dada Khinanti menjadi sesak saat mengingat Kakeknya terbujur kaku dengan seulas senyuman terakhir untuk Khinanti malam itu, setelah Kakek menyuruhnya makan. Jika mengetahui itu adalah waktu terakhir Kakek, dia tidak akan sudi berlari ke dapur dan meninggalkannya. Sempat Khinanti berpikir, bagaimana dunia harus berputar tanpa Kakek yang selalu menyambut kedatangannya dengan senyuman lemah itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *