Angan Peternak

Angan Peternak

Karya: Nova Niswa

Hawa dingin dan suasana gelap menyelimuti siang hari itu. Danu memperhatikan gumpalan lebat putih lembut dan mata besar yang manis di depannya. Ia berpikir, ternyata sudah saatnya mencukur bulu-bulu lebat milik Ali. Ya, Ali adalah kambing pertama yang Danu pelihara dan yang paling gemuk di antara yang lain. Memberi nama pada hewan peliharaan adalah hobi Danu.

“Ali, mengapa kau sangat lucu? Padahal dulu kau sangat pemalu. Sekarang kau bahkan bisa diajak berkeliling kampung,” kata Danu.

“Mbee… Mbeee… Mbeee…” balas Ali.

“Tenang saja, Ali. Aku tidak akan menyakitimu. Aku akan menggunakan alat cukur ini dengan baik agar kau tidak kesakitan.”

“Mbeee… Mbeee… Mbeee…”

Danu memang begitu. Walaupun berbadan besar, tinggi, dan berperawakan garang, hatinya penuh kasih sayang. Angin semakin kencang menerpa helaian rambut Danu, disertai suara gemuruh yang mulai terdengar keras. Itu pertanda bahwa hujan akan segera turun. Danu menyadari bahwa ia harus segera menghentikan aktivitasnya. Sebelum masuk ke dalam rumah, ia memastikan semua hewan peliharaannya dalam keadaan aman agar tidak terganggu saat hujan datang.

Klik! Klik! (notifikasi masuk)

Danu duduk di kursi pojok sambil menyalakan kipas angin dan menyibak rambutnya agar hawa panas segera hilang. Ia meraih handphone yang tergeletak di depannya. Notifikasi teratas yang dibacanya adalah tentang pemangkasan anggaran pemerintah untuk pendidikan. Dahinya mengerut. Ia tenggelam dalam pikirannya.

“Bagaimana pemerintah bisa tega dan mudah sekali mengambil keputusan? Masih banyak di luar sana yang belum mendapat pendidikan yang layak dan mati-matian untuk mencapainya,” batin Danu.

Ia mulai bernostalgia, mengenang empat tahun yang lalu, hari-hari yang dihabiskannya untuk mencari pekerjaan.

“Sudah tiga hari belum ada panggilan. Kenapa belum ada yang cocok? Padahal, kalau diperhatikan kembali, persyaratan lowongan sudah semua terpenuhi,” gumam Danu sambil melihat sekeliling.

Tiba-tiba, bagai kilatan petir, Danu sontak berdiri. Sebuah email masuk, menyatakan bahwa ia diterima di tempat kerja. Hari demi hari dihabiskannya untuk bekerja. Ia dikenal sebagai pribadi rajin dan pandai bergaul di tengah keramaian ibu kota. Akhirnya, Danu memutuskan pulang ke kampung halaman dengan tabungan yang ia kumpulkan. Ia membayangkan mimpi-mimpi besar yang ada di kepalanya.

“Ada apa, Nak? Kenapa tiba-tiba pulang tanpa memberitahu Ibu?” tanya Ibu.

“Aduh, kenapa Ibu begitu? Ibu tidak senang anak tunggalnya ini pulang?” jawab Danu dengan nada menggerutu.

“Bukan begitu, Nak. Ibu khawatir kamu pulang karena sakit atau ada hal yang tidak baik.”

“Tidak, Ibuku yang cantik. Aku punya mimpi besar. Ibu doakan saja, ya.”

Begitulah suasana hangat di kediaman Danu. Ibunya sudah hafal betul dengan tabiat anaknya. Danu adalah anak laki-laki yang selalu punya mimpi dan keyakinan besar untuk mencapainya.

“Permisi…”

Danu tersadar dari lamunannya.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Danu.

“Iya, Nak Danu. Kebetulan saya mencari kambing betina. Bisa saya lihat terlebih dahulu?” ujar Pak Basir.

“Boleh, Pak. Silakan masuk. Nanti saya jelaskan sambil jalan ke dalam.”

Begitulah rutinitas Danu setiap hari. Umurnya masih tergolong muda, tetapi ia sudah memiliki peternakan besar. Banyak orang datang ke peternakannya yang terletak di bawah kaki gunung. Danu selalu memperhatikan kualitas sapi dan kambingnya.

Bagi Danu, peternakan bukan sekadar tempat beternak. Ia adalah lambang dari kerja keras, kesabaran, dan pendidikan kehidupan yang nyata. Setiap pagi yang dimulai lebih awal dari matahari, setiap kotoran yang dibersihkan, setiap rumput yang dipotong untuk pakan, mengajarinya untuk tidak mudah menyerah. Di sana, ia belajar bagaimana menata hidup dari bawah, menumbuhkan mimpi sedikit demi sedikit, sebagaimana ia merawat hewan-hewan kecil itu hingga tumbuh besar dan kuat.

Danu menenteng laptop di sepanjang koridor kampus. Ia tampak tergesa-gesa karena sebentar lagi ada mata kuliah Pemasaran. Untung saja, ketika sampai di kelas, masih ada beberapa menit sebelum dosen masuk. Dua jam berlalu, dan kebetulan hari itu hanya ada satu mata kuliah.

“Aku cabut dulu, Lang. Ada urusan,” kata Danu.

“Yoi, Bro. Udah biasa,” jawab Elang sambil tertawa.

Danu ikut tertawa. Elang adalah sahabat kecil Danu yang tahu betul perjalanan hidupnya. Usai kelas, Danu pulang untuk melihat peternakannya. Ia merasa bersyukur menjadi seseorang yang haus akan ilmu. Bahkan saat di peternakan pun, ia banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku.

Notifikasi di handphone-nya juga penuh dengan berita dan bacaan berharga. Danu kembali berpikir bahwa ia bisa mengenyam pendidikan setinggi ini berkat kerja kerasnya di peternakan, tempat yang mengajarkannya nilai-nilai kehidupan yang lebih nyata daripada bangku kuliah mana pun.

Sore mulai meredup di ufuk barat, cahaya matahari yang hangat perlahan berganti dingin. Danu duduk di bangku kayu di tepi kandang, memandangi ternak-ternaknya yang sibuk merumput. Di sinilah ia merasa damai, jauh dari hiruk-pikuk kota, dekat dengan akar kehidupan yang sesungguhnya. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu tersenyum kecil.

“Dulu aku bermimpi bisa hidup layak. Kini, aku hidup dari mimpi itu. Tapi, mimpi ini belum selesai,” pikirnya.

Baginya, peternakan bukan akhir, melainkan awal. Ia ingin suatu hari membangun pusat pelatihan bagi pemuda desa agar bisa belajar beternak dan berwirausaha. Ia ingin mengubah pandangan bahwa tinggal di desa bukan berarti menyerah pada kemiskinan, melainkan kesempatan untuk tumbuh dari tanah yang subur asal ada kemauan dan kerja keras.

Mimpi itu butuh waktu, seperti menunggu anak kambing tumbuh menjadi pejantan. Harus sabar, harus tekun. Tapi aku percaya, selama ada keyakinan dan usaha, tidak ada yang sia-sia.

Langit semakin gelap. Lampu-lampu kandang mulai menyala. Danu berdiri dan menatap langit malam yang cerah, penuh bintang.

Untuk masa depan, aku tak minta jalan yang mudah. Aku hanya minta kekuatan agar terus melangkah. Karena aku tahu, mimpi yang dijalani dengan sungguh-sungguh, lambat laun akan menuntun ke tempat terbaik.

Dan malam pun menutup harinya dengan damai. Di balik peternakan yang sederhana, seorang pemuda sedang menyiapkan masa depannya dengan mimpi, tekad, dan hati yang tidak pernah lelah mencintai tanah kelahirannya.


Penulis                     : Nova Niswa – Divisi Menulis Kreatif

Desain Thumbnail  : Frengky Okta – Divisi Desain

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *