Wajah-wajah Tanpa Nama

Wajah-wajah Tanpa Nama

Karya : Amrika Dealita

           Hujan deras menyapa pagi dengan angin dingin yang menusuk, diiringi gemuruh langit yang riuh, seperti gema dari otak yang terus dipaksa berpikir dan bekerja tanpa henti. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan, sudah saatnya untuk berangkat ke kantor. Tempat yang ramai, menyimpan kesan mengerikan, dan entah mengapa sedikit menyebalkan.

          Lunara Vienna Cael, akrab dipanggil Cael. Lulusan S2 Psikologi, meski sekarang bekerja sebagai Compensation and Benefits Specialist.

          Setelah orang tuanya bercerai, hidupnya terasa begitu sepi dan hampa. Ayah yang tak lagi bekerja harus memikul beban menghidupi adik yang masih sekolah dan belum tamat SMA. Rasanya, dunia ini tidak adil untuknya. Entah mengapa, semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Beruntung, Cael masih punya teman baik seperti Leonel, Rayden, Zavira, dan Aline yang selalu hadir memberi warna dan kekuatan dihari-harinya yang berat.

          Hujan yang turun hari ini membuat sepatu Cael kotor. Ditambah jalanan yang macet parah, orang-orang tidak dapat beraktivitas seperti biasa. Sesampainya di kantor, Cael melihat Zavira sedang membawa kopi menuju ruangannya. Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya. Siapa lagi kalau bukan Aline.

          “Hei, Cel! Sepatumu kotor banget, nih,” katanya sambil mengeluarkan selembar kain dari tasnya.

          Aku tersenyum kecil. Setelah selesai, Cael kembali ke meja kerjanya. Seperti biasa, kertas-kertas menumpuk di atas meja, menunggu untuk diselesaikan.

          Hari berlalu seperti biasanya. Saat jam istirahat tiba, kami berlima menuju ruang santai kantor. Seperti biasa, kami makan siang bersama, ada yang beribadah, ada pula yang rebahan di sofa. Namun, hari itu terasa berbeda. Rayden, yang biasanya paling cerewet dan penuh cerita, mendadak berubah menjadi sosok yang diam dan dingin. Sejak pagi, Ia menatap layar laptopnya tanpa henti, seolah sedang menghadapi sesuatu yang berat. Bahkan, sikapnya kepada Cael yang biasanya begitu akrab pun terasa dingin, Ia bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun.

          Akhirnya, Aline membuka suara, mencoba memecahkan suasana aneh itu.

          “Ray… kamu kenapa sih? Dari tadi diem banget. Tumben serius banget tuh laptop dipelototin.”

          Zavira ikut menoleh dengan wajah bingung.

          “Iya, biasanya kamu yang paling ribut. Jangan-jangan, laptop kamu kerasukan?” candanya mencoba mencairkan suasana.

          Cael tersenyum, ikut bergurau, “Atau jangan-jangan… abis putus sama pacarnya, nih?”

          Leonel menimpali dengan tawa kecil, “Bisa jadi. Wajahnya kayak habis ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.”

          Namun, alih-alih tertawa bersama, Rayden tiba-tiba menutup laptopnya dengan keras. Wajahnya tampak tegang dan tanpa ekspresi. Ia berdiri, lalu berjalan keluar tanpa sepatah kata pun.

          Zavira refleks berdiri, lalu mengejarnya. “Aku kejar dia,” katanya cepat.

          Rayden berjalan cepat menyusuri lorong kantor, tetapi suara langkah Zavira menyusulnya. Rayden menoleh, wajahnya kesal.

          “Zavira! Kamu ngapain ngikut aku?” tanyanya tajam.

          Zavira berdiri tegak di hadapannya, tak gentar.

          “Aku yang harusnya nanya! Kamu kenapa berubah? Kenapa diem dan nutupin semuanya? Kita ini sahabat, Ray.”

          Rayden menghela napas, lalu menatapnya lama.

          “Kamu nggak ngerti, Vir. Kalian semua nggak akan ngerti. Jadi, tolong… jangan ikut campur.”

          Zavira menggelengkan kepala pelan, matanya mulai berkaca-kaca.

          “Aku ngerti kamu takut. Tapi kamu nggak sendirian. Jangan dorong kami pergi, Ray.”

          Rayden terdiam sesaat, lalu berkata lirih, “Kalian nggak tahu apa-apa… dan kalau tahu pun, kalian tidak ada gunanya.”

          Lalu, ia berbalik dan pergi, meninggalkan Zavira yang berdiri sendiri di lorong yang sepi. Sementara itu, pertanyaan besar masih menggantung di udara.

          Jam pulang kerja akhirnya tiba. Suasana kantor mulai lengang. Cahaya senja menyusup masuk melalui celah jendela, membiaskan warna jingga ke seluruh ruangan. Cael yang hendak pulang melihat sosok Rayden duduk sendiri di taman belakang kantor. Ia masih mengenakan jas kerjanya, menatap kosong ke layar laptop yang menyala redup di pangkuannya. Dengan langkah pelan, Cael menghampirinya.

          “Rayden,” sapa Cael lembut. “Kamu belum pulang? Udah malam, lho.”

          Rayden hanya mengangguk pelan, tidak menoleh.

          Karena Rayden tak kunjung bicara, Cael memilih pulang. Keesokan harinya, ketika Cael tiba di kantor dan menyapa teman-temanya, tidak ada satu pun yang merespons. Mereka semua terpapar fokus pada layar ponsel masing-masing. Wajah-wajah berlaka.

          Cael kemudian mendekati Zavira, mencoba mencari tahu.

          “Zav, kenapa sih mereka diem banget? Ada apa?”

          Zavira mengangkat wajahnya, lalu menjawab dengan pelan tapi tegas. “Lagi heboh, Cael… ada kasus ‘Fantasi Sedarah’ yang lagi viral.”

          Cael mengernyit bingung. “’Fantasi Sedarah’?”

          Aline yang duduk tidak jauh dari mereka menjawab, “Itu… orang-orang yang melakukan hubungan badan dengan keluarga sedarah mereka sendiri. Gila banget.”

          “Ya Tuhan…” ujar Cael.

          Zavira menggeleng sambil menggenggam tangan, “Mereka tidak punya otak, tidak punya hati.”

          Aline menambahkan dengan nada geram. “Nggak masuk akal. Masih ada aja orang yang tega kayak gitu. Kok bisa-bisanya.”

          Cael lalu bertanya. “Korban-korbannya gimana? Kasusnya sudah ditangani polisi atau belum?”

          Leonel menjawab, “Korbannya anak-anak, Cael. Kebanyakan di bawah umur. Parah banget. Pelakunya sih udah nggak punya urat malu.”

          Cael spontan menyarankan, “Gimana kalau kita viralkan saja grup itu? Biar makin ramai dan makin banyak yang sadar, para aparat juga bisa bergerak cepat.”

          Leonel setuju, “Iya! Kita laporkan semua akun yang terlibat. Ini sudah masuk ke ranah hukum pidana, dari kekerasan seksual, pornografi, sampai eksploitasi anak.”

          Kemudian, Rayden ikut bicara. “Tapi, jangan hanya lapor ke pihak berwajib. Gimana kalau kita viralkan dulu? Kita pakai tagar #PeduliAnak atau semcamnya. Biar orang-orang semakin sadar.”

          Zavira tampak ragu. “Hmm… kalau langsung dilaporin bisa-bisa buktinya menghilang. Mending viralin dulu, ikutin saran Rayden.”

          Akhirnya, mereka sepakat. Hari itu juga, masing-masing membuat unggahan di media sosial mereka. Beberapa hari kemudian, mereka berkumpul di ruang istirahat kantor. Kasus yang sebelumnya mereka viralkan meledak di media. Para pelaku mulai ditangkap. Di layar televisi, seorang pembawa berita menyebutkan bahwa sebagian dari mereka dijatuhi hukuman 16 tahun penjara dan denda hingga enam miliar rupiah.

          Rayden menggeleng pelan. “Denda enam miliar masih kurang, sih. Negara pikir, pelaku cuma nyolong pulsa kali.”

          Aline ikut bersuara, nadanya tajam. “Denda enam miliar? Itu kalau dibayar. Yang ada cuma nambah angka fiktif buat pencitraan. Seperempat utang negara aja nggak keangkat, Bang.”

          Cael menyandarkan kepalanya, gumamnya dingin. “Anak-anak itu harusnya dilindungi, diberikan kasih sayang yang layak, dan dijaga mentalnya. Bukan malah dieksploitasi dan direndahkan harga dirinya.”

          Zavira menggenggam tangan erat di atas pangkuan. “Tapi di negara ini, perlindungan anak baru serius ditangani kalau sudah viral. Sebelum itu, tutup mata, tutup kuping.”

          Rayden menatap keluar jendela. Hujan mulai turun pelan.

          “Gue kadang mikir, mungkin pelaku juga pernah jadi korban.”

          Aline menunduk, matanya memerah. “Bayangin trauma mereka… tidur takut, tersentuh jijik.”

          Cael menarik napas panjang, lalu berkata pelan namun tegas, “Mereka bukan hanya kehilangan masa kecil… mereka kehilangan rasa aman juga.”

          Leonel berdiri dan menampar meja ringan. “Makanya, kita harus terus viralkan. Jangan cuma sekali lalu hilang. Kita bukan pahlawan, tapi kita juga tidak mau jadi penonton yang hanya diam saja.”

          Zavira tersenyum getir, “Kalau sistem tidak bisa diputar, maka suara harus menjadi senjata.”

          Setelah perbincangan yang menyayat hati itu, mereka kembali bekerja dan melanjutkan aktivitas seperti semula.


SELESAI

Penulis        : Amrika Dealita – Divisi Menulis Kreatif

Thumbnail  : Milany Dwi – Divisi Desain

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *