Hy, Bye WijnkoopsBaai
Karya : Fellysa Rahma N.
Seperti apakah rasanya hidup dalam dunia bising penuh suara, tetapi selalu merasa sunyi dan hampa? Tanyakan pertanyaan ini padanya, sang gadis pribumi berasma Lembayung Senja, jika dia bisa berkata-kata maka yakinlah dia akan melancarkan jawabannya. Lembayung hidup dalam kesunyian bukan karena malam yang turun, tetapi semesta tak mengizinkan hiruk pikuk dunia mengganggu ketenangannya. Kakek selalu berusaha meyakinkan pada cucu kesayangannya, bahwa tanah airnya tidak sedang berada di kondisi yang baik-baik saja. Tunarungu adalah sebuah anugerah yang dilimpahkan pada Lembayung, sebab dirinya tidak perlu mendengar tembakan peluru, ledakan nuklir dan rintihan memilukan dari penduduk pribumi atas perbuatan meneer tak berhati itu. Di tengah gelapnya masa penjajahan, saat huruf-huruf masih asing bagi banyak lidah dan jemari, Lembayung dengan mantap membuktikan bahwa sunyi dari dunia bukanlah penghalangnya untuk menjadi pintar, berkat kakek yang sabar mengajarinya dibantu tekat Lembayung yang tak pernah padam, dereten tulisan berupa rayuan pada Tuhan menghiasi buku harian usangnya. Dikala membaca adalah kemewahan dan menulis adalah kemerdekaan, di dalam bukunya tersirat suara yang tak terdengar tapi abadi.
Mentari melambai di ufuk barat, memberi pendar jingga di pesisir pantai, gemericik ombak menghantam karang dengan angin berhembus membelai pipi halus Lembayung, memainkan anak rambutnya menghibur gadis ayu itu. Lembayung duduk bersimpuh di bibir pantai, menggores arang hitam yang diruncingkan buatan kakek di atas kertas lusuh yang menemaninya selama ini, tangannya bergerak lincah mengarsir gambarnya lalu mengangkatnya dengan bangga, memberitahu semesta hasil kerja kerasnya, disertai senyum riang menunjukkan gigi tanggalnya.
“Lembayung!!!” Lengkingan Burlian memecah keseriusan Perwira, bocah kuat yang memiliki do’a di sela-sela namanya, harapan orang tuanya agar ia tumbuh menjadi sosok yang tangguh. “Sudahku bilang jangan teriak-teriak! Percuma saja, Lembayung tak akan mendengar suara cemprengmu itu!” Gertak Perwira sembari mencomot bibir Burlian. Dari kejauhan tampak wajah kesal Perwira menghampiri Lembayung dengan Burlian yang berlari kecil di belakangnya. Menyadari para sahabatnya menghampirinya, Lembayung segera berdiri dan menunjukkan hasil gambarnya dengan ringisan lebar, membuat kekesalan Perwira berangsur melebur. Burlian, anak laki-laki Timur yang memiliki julukan si anak malam karena kulitnya yang gelap itu menyenggol Lembayung, berpose di depannya sebagai isyarat dirinya juga ingin digambar, hal itu memicu kekehan Lembayung yang menghangatkan hati siapa pun yang menyaksikannya. Perwira menggeleng heran melihat tingkah Burlian.
“Yuk, pu… lang…” Ucap Perwira sembari memeragakan bahasa isyarat yang selama ini diajarkan oleh kakek Lembayung. Lembayung mengangguk dan melangkah pulang bersama Perwira dan Burlian, menghilang bersama iringan tawa yang terlebur hembusan angin.
“Semua memiliki teman, tetapi Benjamin sendirian.” Anak bermata biru samudra bermarga Meijer itu sedari tadi menyandarkan kepala di jendela kamarnya, terpaku pada kejadian yang menurutnya sangat luar biasa, yaitu memiliki “teman” Dia menurunkan teropong mainannya dengan lesu saat menyadari para anak itu pergi tanpa jejak, membuat suasa kembali redup dan sunyi. Mata Benjamin membulat saat menyadari moeder berdiri di belakangnya dengan tangan bersedekap, menatapnya dengan penuh arti membuat Benjamin terkekeh sumbang.
“Sudah mama katakan, jangan memiliki keinginan sedikit pun berteman dengan mereka.”
mama duduk di hadapannya, mengelus kepalanya dengan lembut, meski perkataan yang dikeluarkan penuh tekanan.
“Tapi ma.” Sanggahan Benjamin mendapat gelengan dari mamanya, tanda hal itu sudah tidak dapat diganggu gugat.
“Mama tahu kamu kesepian, tetapi apakah mainan sebanyak ini tidak cukup untukmu? Mereka berbeda dengan kita putraku, mereka rakyat miskin dan bodoh, mama tidak mau kamu menjadi berandalan jika berbaur dengan mereka, besok para meener dan nyonya akan datang kesini, pasti putra dan putri mereka ikut, dan kamu bisa bermain sepuasnya.”
Apa kata para rekan kerja vader Benjamin jika putranya berbaur dengan para pribumi.
“Kenapa mereka menamai daerah ini sebagai Wijnkoopsbaai kek?” Tanya Perwira dengan dahi berkerut penasaran. Kakek terkekeh melihat ekspresi penasaran Perwira, disusul dengan mata berbinar milik Burlian.
“Nama itu digunakan para meneer untuk menamai pelabuhan ratu, Wijnkoopsbaai memiliki arti teluk pedagang wine, karena mayoritas penghasilan mereka di sini adalah pembuat wine atau minuman kesukaan mereka yang terbuat dari fermentasi anggur.”
Ucapan kakek menambah bingung Burlian, karena anak itu tidak dapat menangkap apa yang kakek sampaikan, otaknya selalu delay.
“Berarti lumbung besar dan ruang bawah tanah itu berisi wine?” Tanya Perwira disusul dengan anggukan kakek.
Tatapan sendu Lembayung terarah pada kakeknya, sosok dengan wajah berhias keriput, badan yang tak lagi tegap dan bugar, tetapi wajahnya selalu bersinar. Kakeknya lah yang membesarkan Lembayung dan membawanya ke kampung halaman “Pelabuhan Ratu” yang bertepatan di Jawa, setelah peristiwa kelam di Batavia yang merenggut nyawa ayah ibunya. Kakeknya pernah menjadi orang penting di daerah Pelabuhan Ratu, membuatnya disegani di kalangan pribumi karena pintar dan bijaksana.
Setelah berbincang dengan kakek di gubuk beralas daun kelapa, mereka berlari menuju pesisir pantai dan bermain di sana, disisi lain, Benjamin yang mengetahui kehadiran mereka, segera menyusun rencana untuk melarikan diri dari pesta wine membosankan yang diselenggarakan orang tuanya, para anak di sini sangat sombong dan angkuh, jadi Benjamin menyelundup dan mengendap-endap keluar tanpa sepengetahuan siapa pun, hingga berhasil menginjakkan kaki di tepian pantai dan mengamati tiga sekawan itu dengan mata berbinar.
Keinginan besar Benjamin mendorongnya untuk mendekati mereka, dengan derap langkah pelan dan pasti, dia menghampiri mereka dan memberi sapaan pelan, “hai.”
hal itu memicu tatapan sinis dari Perwira dan Burlian, sebaliknya Lembayung tersenyum manis. “Jangan mendekat pada kami.”
Pandangan Perwira jatuh pada lumbung, dia takut meneer mengetahui dan mengira anaknya bermain dengan sekawan tersebut, karena banyak kejadian menimpa mereka saat anak Netherland berbaur dengan mereka.
“Beta tra mau kena pukul lagi, rotan itu meninggalkan bekas luka! Ayo Lembayung kita pergi dari sini.”
Ujar Burlian tak kalah panik.
Melihat raut sedih anak Belanda itu, Lembayung segera berhenti dan memberi isyarat pada temannya untuk tidak pergi, dengan helaan napas, Burlian melepaskan Lembayung dan membiarkannya mendekati Benjamin. Menyadari hal tersebut, Benjamin tersenyum memperkenalkan diri. “Aku Benjamin!”
Raut sedih terukir di wajah Lembayung “dia tuli, dan kami tra bisa menulis su punya nama di bukunya karena kami tra sekolah.”
Ucap Burlian malu-malu.
Benjamin segera meraih buku usang milik senja “halo! aku Benjamin, benda ini sulit digunakan untuk menulis, aku punya banyak pensil apa kamu mau?”
Senja membaca tulisan itu dengan wajah sumringah disertai anggukan yang terlampau semangat. Pensil adalah hal yang ia impikan selama ini.
“Kenapa ke sini, bukankah di rumahmu sedang diadakan pesta?” Tanya perwira heran.
“Ya! Padahal su pendatang, tetapi kenapa su punya rumah begitu bagus dan mewah? Kata Pace beta, tempat beta begitu banyak emas dan minyak, tetapi kenapa kami hanya bisa menjual buah pinang?”
Celetukan Burlian mengundang tawa mereka karena mereka menganggap hal itu sangat lucu.
Pertemuan itu menjalin pertemanan di antara mereka. Benjamin begitu senang dengan kehadiran Lembayung, Burlian, Perwira disisinya dan menjadi temannya. Jika memiliki kesempatan saat orang tuanya bepergian, Benjamin menyelinap keluar rumah untuk bermain dan mengajari mereka membaca serta menulis hingga mereka bisa, rasa sayang dan persaudaraan tumbuh di antara mereka tanpa sepengetahuan orang tua Benjamin, sebab mereka terlampau sibuk dengan bisnis, yang mereka gandrungi, tanpa rasa risau anaknya akan berubah menjadi berandal.
Bertahun-tahun berlalu, hingga proklamasi kemerdekaan yang menjadi penantian rakyat Indonesia sebagai buah perjuangan mereka telah dilakukan, berita kemerdekaan menyebar begitu cepat menggiring rakyat Indonesia pada kedamaian abadi, sorak penuh kemenangan penduduk pribumi menggetarkan hati.
“Ibu pertiwi beta!!” Teriak Burlian penuh semangat saat dirinya dan Perwira berhasil mengibarkan sang saka merah putih.
Bagai jarum ditumpukan jerami, rakyat Belanda yang sudah menyatakan damai mengingkari janjinya karena merasa masih berhak atas Indonesia, kemerdekaan Indonesia hanya akan membuat mereka tersingkir hingga pada Oktober 1945, pemerintah Belanda kembali berupaya menguasai Indonesia dengan menempatkan Letnan Gubernur Jendral Huib Van Mook di Batavia. Hal ini menyulut amarah dan kebencian seluruh rakyat pribumi, mereka mengatasnamakan diri mereka sebagai pemoeda atau pelopor kemudian merampok, menyerang, dan memperkosa orang-orang Belanda dan keturunanya yang dianggap prokolonialisme.
Kericuhan yang terjadi membuat keluarga Benjamin merasa terancam dan tidak aman, setiap hari, Perwira dan Burlian mengelilingi rumah Benjamin untuk memastika tidak ada keributan disana dengan Lembayung yang selalu menitipkan surat untuk Benjamin. Terbersit sesuatu yang mengganjal di lubuk hati Perwira, harus melindungi temannya atau merengkuh tanah air tercintanya, tetapi Perwira meyakinkan dirinya, keluarga Benjamin hanya berbisnis disini, dan akan kembali ke Netherland jika sudah saatnya.
Burlian yang menyadari sahabatnya melamun langsung menepuk bahunya. “Kenapa?” Disusul dengan gelengan Perwira.
“Tidak Burlian, tapi… di saat pemuda seusia kita membantai para kolonial, sebaliknya kita menjaga salah satu dari mereka agar tetap aman.”
Perwira mendongak menatap bintang yang bertaburan.
“Bagaimana jika bapak dan mamak tahu? Namaku tersemat oleh harapan mereka, harapan aku melindungi bangsa.” Lantas Perwira tertunduk lemas.
“Beta juga bingung, tetapi Benjamin telah berjasa pada kita, dia mengajarkan kita menulis dan membaca, dan beta rasa inilah saatnya kita berbalas budi.”
Senyum Burlian menyiratkan kebingungan yang luar biasa mendalam.
“Maafkan aku.” Benjamin muncul dan menyelinap keluar dari jendela kamarnya, disusul dengan ekspresi terkejut dari Perwira dan Burlian.
“Teman-teman, kapal milik ayahku akan menjemput keluarga kami tengah malam nanti, aku akan kembali ke Netherlands.”
Suara gemetar itu menahan tangis, kembali mengagetkan Perwira dan Burlian, tangan Benjamin terulur, memberikan kotak berisi kenangan pertemanan mereka.
“Aku kemarin begadang dan membuat ini, selama ini aku memotret kalian dengan kameraku dan mencetaknya menjadi banyak. Jadi aku, kamu, Burlian, dan Lembayung, masing-masing memiliki kenangan pertemanan kita.”
Gestur menggaruk leher yang tak gatal Benjamin lakukan untuk menahan tangisnya.
Pelukan mendadak dari Burlian membuat air mata Benjamin tak dapat dibendung lagi, mereka bertiga terisak dan terhanyut dalam pelukan perpisahan.
Tengah malam, saat kapal keluarga Benjamin sudah berada di pelabuhan, Burlian dan Perwira menyamar menjadi tukang angkut barang-barang keluarga Belanda, yang ada di sana, yang berencana angkat kaki dari Indonesia malam ini. Agar identitas mereka tidak diketahui dan didepak dengan tak layak dari sana.
Disisi lain, Lembayung dengan tergesa-gesa berlari menuju kediaman Benjamin tanpa alas kaki, tak menghiraukan luka di telapak kakinya sebab tertancap pecahan beling. Air mata gadis itu tak kunjung surut sejak ia mengetahui rencana para pemuda akan melakukan penyerangan di area pelabuhan malam ini juga. Lembayung berusaha berteriak mencari para sahabatnya, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan dan sia-sia. Perasaan campur aduk membuncah saat netra Lembayung menangkap sosok Benjamin di sekitar kapal, dirinya segera menghampiri dengan air mata yang terus bercucuran.
Benjamin yang terkejut berusaha menenangkan Lembayung dengan mengusap punggungnya dan bertanya dengan bahasa isyarat “Ada apa, Lembayung? tenang, waktuku di sini masih lumayan lama.”
Lembayung yang kepalang panik tidak membawa alat tulisnya dengan cepat menulis di permukaan pasir.
“Mereka akan ke sini. Tangis Lembayung pecah diiringi rasa takut yang tak dapat diutarakan. Benjamin yang membaca pesan tersebut menjadi sangat panik dan segera berlari menghampiri ayahnya, memberitahu informasi genting ini, semua awak kapal dan kru kapal menjadi sangat keteteran, suasana di sekitar pelabuhan seketika menjadi riuh malam itu.
Menit demi menit berlalu, pasukan pemuda yang dikabarkan oleh Lembayung menyerang permukiman sekitar pesisir “Siap!! Siap!!”
Teriak para pemuda dengan senjata di tangan mereka, mau tidak mau, orang-orang belanda yang masih berada di wilayah itu dibantai dan dihabisi, lengkingan suara memilukan menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. Lumbung-lumbung dihancurkan tanpa ampun.
Sebelum pasukan pemuda memasuki pelabuhan, kapal segera berlayar meninggalkan tiga sekawan itu, dengan kotak pemberian Benjamin.
“Tot ziens WijnkoopsBaai, tot ziens vrienden, bedankt.” Benjamin.
Lembayung, Perwira, dan Burlian pergi meninggalkan pesisir, persis seperti dulu saat mereka pulang bermain dan menuju rumah. Bukan, bukan lagi tawa yang mengiringi langkah mereka dan menghilang tertiup angin, tetapi isak tangis yang larut terbawa ombak.
Penulis : Fellysa Rahma N. – Divisi Menulis Kreatif
Desain Thumbnail : Sur Indah Setyo Rini – Divisi Desain
