Detik yang Membeku

Detik yang Membeku

Karya : Nova Niswa

Senja merayap pelan, menembus jendela dan menyapa binar mata Luna. Dengan langkah kecil, ia memasuki rumah besar yang terasa sunyi dan tak bernyawa. Kursi rotan di teras itu berlapis debu, menandakan sudah lama tak disentuh. Luna duduk di sana, menatap langit tanpa suara. Hari-harinya hanya diisi bekerja dan menunggu hari esok. Meski punya beberapa pekerjaan, rasa sepi tetap bersarang di hatinya.

Detik demi detik berlalu. Luna larut dalam lamunan dan suasana halus tak biasa mulai menyelimuti udara di sekelilingnya. Hingga, kantuk menyerang dan Ia terlelap di kursi rotan ditemani senja yang perlahan memudar. Suara burung membangunkan Luna dari tidur singkatnya. Ia terhenyak, belum benar-benar sadar dengan situasi di sekitar.

Luna: “A-a-yah… A-a-ayah…” (terbata-bata)

Burhan, ayah Luna, yang sedang menyiram tanaman, segera menghampiri.

Burhan: “Nak, ada apa?” (khawatir)

Luna terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berdiri. Dalam hatinya, Ia mencoba meyakinkan diri.

Luna: “Hah, nggak mungkin. Aku pasti lagi mimpi. Tadi memang tidur menjelang petang. Iya, pasti mimpi.” (bergumam dalam hati)

Burhan: “Nak, sini duduk. Ada apa? Kok mondar-mandir terus?”

Luna: “Apa sih, Yah? Sibuk banget ngurusin hidup orang!”

Luna meninggalkan Ayahnya, memasuki rumah. Ia mencoba menenangkan diri, meyakinkan bahwa semua ini hanya sebuah mimpi. Tetapi, mengapa Ia bisa membentak Ayahnya seperti itu? Luna berjalan menyusuri rumah, memperhatikan benda-benda yang tampak akrab, walau samar di ingatan. Hingga, Ia berhenti di depan pigura berisi foto dirinya bersama Ayah dan Ibu ketika masa SMA. Dadanya bergetar.

Tiba-tiba, Ibunya, Ayunda, muncul dari ruang makan, membawa sepiring nasi goreng dengan senyuman hangat.

Ayunda: “Nak, sarapannya sudah siap. Ayo dimakan.”

Tanpa banyak bicara, Luna menghabiskan makanannya lalu keluar rumah, mengayuh sepeda tanpa berpamitan.

Sepanjang perjalanan, banyak pertanyaan berkecamuk di benaknya. Mengapa wajah Ayah dan senyum Ibu terasa begitu nyata dan hangat? Masakan Ibu pun terasa hidup di lidahnya. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Tetapi, rasanya sangat menyenangkan melihat Ibu dan Ayah berdiri tepat di hadapannya. Jika ini memang mimpi atau khayalan, biarlah Ia terus berlanjut. Karena, Luna sangat merindukan Ayah dan Ibu.

Sore itu, Luna pulang dengan berteriak lantang.

Luna: “Aku pulang!”

Ayunda: “Eh, anak kita sudah pulang. Sini, Nak, ikut nonton TV bersama.”

Luna: “Nggak mau, capek!”

Luna langsung memasuki kamar. Ayunda hanya menghela napas berat, Ia sudah terbiasa dengan sikap Luna yang jutek dan keras kepala. Namun, jauh dari lubuk hatinya, Ayunda berharap Luna dapat menjadi gadis yang lembut.

Burhan: “Tidak apa-apa, Bu. Kita ajari dan ubah perlahan. Aku yakin Luna tidak sepenuhnya seperti itu.” (menenangkan)

Hari-hari berlalu. Suasana rumah tetap sama. Ayah dan Ibu selalu perhatian, tetapi Luna tetap bersikap dingin.

Luna: “Yah, aku mau minta uang jajan lebih buat liburan akhir pekan.”

Burhan: “Nanti sama siapa, Nak?”

Luna: “Terserah Luna dong, Yah. Sama teman-teman, lah. Kenapa sih Ayah repot nanya?”

Ayunda: “Nak, Ayahmu itu nanya baik-baik. Jangan selalu berbuat seenaknya.”

Luna: “Ya, ya, aku tahu. Pasti Ibu ikut campur. Udah, aku mau nonton lagi. Jangan lupa taruh uangnya di atas dompet!” (teriak)

Beberapa hari ini, Luna menyadari dengan jelas  bahwa Ia kembali ke masa lalu—masa yang dulu sangat Ia benci. Luna bertanya-tanya, mengapa dulu Ia begitu membenci Ayah dan Ibu? Mengapa Ia tak pernah merasakan ketulusan dari mereka? Penyesalan menyesak di dada. Ia ingin sekali memeluk Ayah dan Ibu, mengucapkan sayang, tetapi Ia merasa terhalang oleh ruang dan waktu yang membuatnya tidak bisa berbuat apapun

Suatu pagi, Ayunda berkata lembut, “Nak, besok Ibu dan Ayah akan pergi ke kota selama satu bulan untuk cek toko. Kamu di rumah sendiri, ya?”

Luna: “Ih, Ma, Luna bukan anak kecil. Luna bisa urus diri sendiri.”

Ayunda hanya tersenyum sendu.

Ayunda: “Jaga diri baik-baik, ya. Kita tidak punya saudara, tapi Ibu yakin Luna anak hebat.”

Luna hanya tersenyum miring, tak menanggapi. Burhan mengajak Ayunda berangkat. Luna tampak bahagia melihat kepergian mereka. Akhirnya, Ia bebas.

Tiba-tiba, telepon Luna berdering.

Luna: “Halo, siapa?”

Setelah mendengar kabar di ujung telepon, Luna terdiam, menatap kosong ke depan. Dalam hati, Ia menyesal. Andai saja Ia dapat mencegah Ayah dan Ibu pergi ke kota, atau ikut bersama mereka, mungkin Ia bisa mencegah si jago merah melahap toko dan orang tuanya. Andai semua itu tak pernah terjadi, Ayah dan Ibu pasti hidup lebih lama. Penyesalan dan kalimat “andai saja” terus berputar di kepalanya. Dan kesepian itu kembali merayap masuk seperti teman lama yang selalu hadir di hari-harinya dulu.

Luna duduk di pojok kamar, larut dalam rasa sesal, sedih, dan marah, hingga Ia terlelap.

Ting!

Luna terbangun. Ia menatap jam di pergelangan tangannya, menunjukkan pukul 16.30. Detik itu juga, Ia sadar bahwa dirinya telah kembali ke masa depan. Ingatannya melayang ketika menjelang tidurnya, ketika jarum jam juga menunjukkan waktu yang sama. Air matanya mengalir deras, hingga tubuhnya lemas dan terjatuh ke lantai. Ia menyesal telah melewatkan waktu berharga bersama orang tua. Selama ini, Ia hanya hidup untuk dirinya sendiri, melupakan orang-orang tercinta. Kini, hanya Luna dan rumah besar yang kosong, menjadi saksi rintihan penyesalannya di sore itu.

_______

Huft, akhirnya selesai juga. Luna menyeka keringat di dahinya, meletakkan kain pel di tempat semula. Matanya menangkap bunga berwarna merah di halaman, dan Ia tersenyum hangat. Ia memang membenci masa lalunya. Tetapi, kini Luna sadar, Ia harus bangkit dan tidak membiarkan masa lalu membelenggu hidupnya. Ia memilih menjalani hidup dengan kebaikan. Rumah yang dahulu kosong, kini lebih hidup. Luna pun giat bekerja dan rutin mengunjungi makam orang tuanya. Ia tak lagi membiarkan kesepian berlama-lama di hatinya.

Penulis           : Nova Niswa – Divisi Menulis Kreatif
Thumbnail     : Rizal Maulana – Divisi Desain

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *